Rabu, 18 Agustus 2010

tentang aborsi

Tindakan aborsi atau penguguran kandungan hingga sekarang masih menjadi perdebatan. Bukan saja secara legal, medis dan kesehatan. Tetapi juga sebagai problem sosial, agama dan moral, serta jangan lupa, masalah hak-hak perempuan juga ada di dalamnya.

Pro-kontra soal aborsi tersebut kembali mencuat ketika aparat Kepolisian Sektor Metro Jatinegara Jakarta Timur, menggerebek Klinik Sarastri Griya di Jalan Otto Iskandardinata III RT 02/01 No 115 Cipinang Cempedak Jakarta Timur, Kamis (9/11) malam. Klinik bersalin itu disinyalir sebagai tempat aborsi. Di tempat tersebut, polisi menangkap SWS, dokter kandungan pemilik klinik tersebut bersama empat bidan, dan tiga pasien. Selain itu, polisi juga menyita sebuah tabung berisi cairan merah, selang dengan bercak darah, dan sebuah peralatan penyedot.

Terbongkarnya praktik aborsi itu berawal dari laporan masyarakat yang mencurigai klinik dr SWS tersebut. Syaiful yang tinggal bertetangga dengan klinik tersebut mengaku tidak pernah curiga pada klinik tersebut. Namun, tambah dia, di luar jam praktik, Syaiful kerap melihat hal-hal yang aneh. Banyak pasien yang keluar dalam kondisi seperti habis dibius.

Di lokasi, papan nama resmi yang tertera di klinik itu adalah dokter praktik "Sarsanto W. Sarwono: Ahli Kebidanan dan Penyakit Kandungan". Hari praktik hanya Selasa dan Kamis, mulai pukul 18.00 hingga 20.00, dengan nomor izin DS 00158/T-3-03/10-87. Tetapi, di kalangan pasien, tempat tersebut populer dengan sebutan Klinik Sarastri Griya.

Setelah mengintai berhari-hari, polisi akhirnya berhasil menguak praktik ilegal tersebut. Sebagai dokter senior di bidang kandungan, SWS tak menyangka praktik pengguguran kandungan tersebut bakal menyeretnya berhadapan dengan penegak hukum. SWS berkeyakinan aborsi dilakukan untuk meringankan penderitaan pasiennya. Tapi, kini, justru berbuntut tuduhan telah melakukan praktik aborsi.

Pendapat SWS didukung Hormat Toro SH, penasihat hukumnya. Toro menyatakan, kliennya melakukan aborsi semata mata demi alasan medis. Selain itu, tambah dia, usia kandungan pasien, dibatasi maksimal dua bulan. Dengan alasan tersebut, Toro secara tegas menolak tudingan bahwa kliennya melakukan praktik aborsi.

Bisa jadi Toro benar. Tetapi, coba tengok pengakuan para pasien SWS. Wida dan Riana yang mempunyai usia kandungan masing-masing 5 minggu dan 8 bulan misalnya. Keduanya mengaku mengetahui Klinik Saraswati sebagai tempat aborsi dari rekan-rekan di kantornya. Keterangan itu juga diakui Manisem. Perempuan yang duduk di bangku kelas satu Sekolah Menengah Umum itu, mendengar klinik tersebut sebagai tempat aborsi dari teman sekolahnya. Manisem yang hamil dua minggu itu, telah dua kali melakukan aborsi di klinik tersebut. Pengkuretan janinnya tambah dia, ditangani langsung oleh dr SWS. Ketika itu, dia beralasan ingin melanjutkan sekolah.

Sementara itu, keempat bidan yaitu Alidah, Sofia, Rudatin, dan Rukli di depan penyidik mengakui praktik pengguguran kandungan atau sering mereka istilahkan dengan kuret, telah dilakukan sejak berdirinya klinik tersebut pada 1979. Akan tetapi, pasien dibatasi, usia kandungannya tidak lebih dari dua bulan. Mereka mengatakan pertimbangan aborsi bagi si pasien ada di tangan dr SWS.

Menurut Kepala Kepolisian Sektor Metro Jatinegara Asisten Superintendent FX Soepardi, berdasarka pengakuan pasien, tarif aborsi di klinik itu paling mahal Rp 1,5 juta untuk usia kandungan empat bulan. Untuk usia 2-3 bulan cukup mengeluarkan duit Rp 900.000, dan usia sebulan dipatok seharga Rp 500.000. Bila dipukul rata, dalam setiap hari praktik "Klinik Aborsi" itu menerima 15 pasien.

Menurut Soepardi, dr SWS disangka melanggar UU Nomor 23/1992 dan Pasal 349 junto 348 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sedang tersangka lainnya melanggar Pasal 349 junto 55, Pasal 346 junto 55, dan Pasal 348 junto 56. Pasal 348 dan 349 KUHP mengatur mengenai perbuatan yang menyebabkan gugurnya kandungan seseorang, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

UU Kesehatan membolehkan aborsi karena alasan kesehatan. Pada pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Namun, itu tadi, hingga kini masih beragam pendapat soal istilah teknis tersebut. Sebab, aktivis perempuan menilai tindakan medis tertentu itu, hanya akan mencabik-cabik keutuhan diri perempuan sebagai manusia.

Sebenarnya, aborsi hanya boleh dilakukan apabila memang ada kelainan-kelainan janin yang akhirnya mengancam nyawa si ibu. Kondisi tersebut hanya dapat diketahui oleh dokter. Singkat kata, kegiatan aborsi dalam dunia kedokteran harus melalui berbagai pertimbangan medis dan etika.

Aborsi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan obat yang tujuannya untuk memacu kontraksi janin sehingga cepat keluar. Namun, ada pula yang melakukan perawatan-perawatan tertentu sehingga janin keluar. Sedangkan, untuk janin yang berumur di atas dua bulan, biasanya dipotong kecil-kecil dengan menggunakan alat semacam gunting yang dimasukkan ke dalam rahim. Sementara, para dukun seringkali meremas-remas perut si ibu agar janin keluar. Soal, sakit jangan ditanya. Wajar jika banyak yang kapok setelah dikuret. Tetapi, ada juga yang kembali melakukan aborsi dan rela menahan sakit tersebut.

Asal tahu saja, data resmi menyebutkan, di Indonesia, rata-rata per tahun terjadi 2,3 juta aborsi. Represi aborsi akan menggiring orang untuk pergi ke fasilitas pelayanan ilegal dan keamanan peralatan yang tidak terjamin, misalnya, ke dukun. Inilah yang mempertinggi angka kematian ibu di Indonesia, yang saat ini tertinggi di ASEAN, yakni 375 per 100.000 kelahiran hidup.

Sementara itu dari sekitar 30 juta peserta KB, ada sekitar 600.000 kehamilan tak diinginkan akibat gagal KB. Masalahnya, di Indonesia aborsi tidak legal kecuali ada indikasi medis. Padahal, kehamilan tak direncanakan seperti di atas tidak termasuk indikasi medis. Akibatnya, banyak wanita hamil pergi ke tempat aborsi ilegal, yang selain mutu tidak terjamin biayanya tinggi.

Celakanya lagi, dari jumlah tersebut, sebanyak 750.000 kasus aborsi dilakukan para remaja putri. Banyak kasus ingkar janji laki-laki menyebabkan para remaja putri memilih menggugurkan kandungannya jika terjadi kehamilan pranikah. Gawatnya, tak jarang atas nama tindakan untuk menyelamatkan ibu, berakibat pada kematian remaja putri tersebut.

Memang, KUHP dan juga UU Kesehatan No 23/1992 tentang Kesehatan memberikan ancaman yang lumayan berat buat semua pelaku aborsi. Tentu saja, semuanya di luar indikasi medis. Lantaran itu, banyak kalangan menilai wajar jika dokter, dukun atau tukang obat, maupun perempuan pelaku aborsi mendapat ganjaran setimpal. Sayangnya, --dan ini parah-- tak ada satu pun peraturan yang dapat menjerat si laki-laki agar bertangung jawab terhadap bakal janin baik secara pidana maupun perdata.

Sementara itu, untuk menuntaskan kasus aborsi, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia sedang menggalang program Aborsi Aman. Untuk itu, PKBI menilai perlu dilakukan tindakan pencegahan kehamilan, yaitu pendidikan kesehatan reproduksi dan penggunaan alat kontrasepsi. Selain itu, menyediakan pelayanan aborsi yang aman bagi orang yang membutuhkan. Pelayanan tersebut diberikan pada korban incest, perkosaan, kasus gagal KB atau bagi mereka yang sudah banyak anak. Mereka juga berharap pelaksanaan aborsi kelak, lebih aman dengan biaya yang harus terjangkau.

Ribut-ribut soal aborsi juga terjadi secara universal. Bahkan, di tingkat internasional, keyakinan bahwa perempuan memiliki pilihan sebagai hak atas tubuhnya menjadi pemikiran kelompok pro-choice. Sayangnya, selama ini, pemahaman mengenai pro-choice terbatas sebagai kelompok pro-aborsi. Sementara kelompok pro-life berpandangan janin mempunyai hak hidup, tanpa mempertimbangkan kondisi ibu. Dengan demikian, aborsi, berapa pun usia janin dianggap sebagai tindakan pembunuhan.

Sementara itu, bagi dokter persoalan aborsi seakan pisau bermata dua. Mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia Dr Merdias Almatsier berpendapat di kalangan dokter, persoalan aborsi menimbulkan dilema. Di satu sisi, dilarang oleh UU. Tapi, di sisi lain seorang dokter merasa tergerak hatinya untuk menolong wanita yang mau menggugurkan kandungannya. Jika dokter menolak permintaan tersebut, kata dia, sang ibu bisa saja meminta bantuan dukun atau melakukannya sendiri dengan risiko yang tinggi. Sementara itu, agar dokter tidak dituding melanggar hukum, PKBI mengusulkan untuk meninjau dan mengubah sumpah dokter yang berbunyi "Kami menghormati makhluk insani sejak pembuahan" menjadi "Kami menghormati makhluk insani sejak kehidupan."

Bicara soal pengguguran kandungan, rasanya tak lengkap tanpa menengok ke belakang. Kasus aborsi pertama kali terungkap di Jakarta pada dua tahun silam. Kasus itu terbongkar bermula dari penemuan mayat bayi yang terkubur di Warakas, Jakarta Utara. Setelah diditelusuri, ternyata mayat-mayat janin tersebut adalah korban aborsi yang dilakukan secara ilegal.

Terang saja penemuan mayat bayi tak berdosa itu memancing polemik. Sebagian masyarakat mengutuk aborsi itu karena dianggap tindakan pembunuhan dan bertentangan dengan ajaran agama apa pun. Reaksi marah juga dilontarkan pada dr Budiman dan beberapa bidan yang terbukti terlibat dalam tindakan aborsi tersebut. Buntutnya, dr Budiman dan beberapa bidan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan melakukan aborsi ilegal. Mereka dipidana kurang dari dua tahun.

Dua tahun berselang, tepatnya pada Februari, kasus serupa kembali terjadi di sebuah klinik di Kelapa Gading Jakut. Dalam kasus tersebut, seorang dokter berinisial Aw dan dua pembantunya Nyonya Jj dan Am dihukum karena terbukti melakukan praktik aborsi ilegal selama beberapa tahun.

Dalam persidangan dr Aw mengaku telah mengaborsi sekitar dua ratus janin. Di klinik tersebut, polisi menemukan puluhan bungkus mayat bayi yang terkubur dalam septi tank. Kasus itu pun, tak urung mengundang reaksi.

Sebulan kemudian, masyarakat dikejutkan lagi dengan penemuan puluhan mayat bayi di sebuah areal Kebun Jambu di Depok, Jawa Barat. Dalam kasus tersebut, aparat Polres berhasil menangkap seorang bidan dan beberapa pembantunya. Dari penyelidikan polisi, terkuak bahwa tindakan aborsi ilegal dilakukan di beberapa klinik di wilayah Depok. Dari puluhan kerangka bayi yang berhasil digali, menunjukkan bahwa praktik aborsi ilegal itu sudah berlangsung beberapa tahun. Proses hukum pun tidak terelakkan. Bidan serta para pembantu tersebut akhirnya meringkus dalam penjara.

Kasus aborsi itu tidak saja terjadi di Jakarta dan sekitarnya tapi juga di kota-kota lainnya seperti di Surabaya, Bandung, dan Medan. Untuk Jakarta saja, dalam kurun waktu tiga tahun, tercatat ada tiga kasus aborsi yang terungkap dengan jumlah korban lebih dari seratus mayat bayi.

Dengan demikian tak pelak, maraknya tempat aborsi ilegal disebabkan lantaran banyaknya pasien-pasien muda usia yang menginginkan aborsi akibat pergaulan bebas. Apalagi, masyarakat juga sering mencibir dan mencemooh kehamilan di luar nikah. Lantaran itu, tak dapat dipungkiri praktik pengkuretan janin seolah tak pernah mati. Selalu ada dalam setiap zaman. Artinya, kontroversi aborsi, hingga kini belum berujung.(TNA/Tim Liputan Derap Hukum)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar